Sejenak

……….

Luangkanlah sejenak detik dalam hidupmu
Berikanlah rindumu pada denting waktu
Luangkanlah sejenak detik dalam sibukmu
Dan lihatlah warna kemesraan dan cinta

Sebelum hidupmu terhalang nafasmu
Sesudah nafsumu tak terbelenggu
Indahnya membisu tandai yang berlalu
Bahasa tubuhmu mengartikan rindu

………

(Sejenak – Letto)

Marhaban yaa Ramadhan…

Lima Terlalu Sedikit, Sepuluh Terlalu Banyak

Saat TVRI tampil sebagai satu-satunya saluran televisi, banyak orang menganggap itu tak demokratis. Lantas muncullah RCTI (1989), SCTV (1990), TPI (1991), Anteve (1994), dan Indosiar (1995). Lima stasiun televisi swasta ini bisa mengudara memang didukung oleh faktor dekatnya sang pendiri dengan kekuasaan, sebagaimana lazimnya bisnis pada masa Orde Baru dengan Soeharto sebagai Big Boss-nya, dan Cendana sebagai “bau”nya.

RCTI dimiliki oleh Grup Bimantara (ada Bambang Trihatmojo di sana). TPI – kita semua tahu – didirikan oleh Siti “Tutut” Hardiyanti Rukmana. SCTV juga “berbau” Cendana, dengan pendiri seperti Sudwikatmono, Peter F. Gontha, Henry Pribadi, Halimah Bambang Triatmodjo, dan Azis Mochtar. Anteve milik Aburizal Bakrie, sedangkan Indosiar dikuasai Anthony Salim.

Era Reformasi kembali menumbuhkan lima televisi swasta nasional baru, di samping ada kebijakan untuk memberikan ijin bagi munculnya televisi lokal di daerah-daerah. Lantas mengudaralah secara nasional Metro TV, Global TV, Trans TV, TV7, dan Lativi.

Selanjutnya

Matinya Radio?

Kemarin listrik di Jatinangor kembali padam. Kali ini saya sudah biasa. Mulai terasa ada pola yang teratur. Yah, akhirnya terbukti bahwa di Jatinangor dalam seminggu ada 3 hari lampu mati. “Aliran” ceuk urang Sunda mah..

Dan saya pun iseng menelpon PLN.

Berikut transkrip telpon-telponan itu (S = Saya; P = Petugas PLN):

S: Halo?
P: Halo, PLN di sini..
S: Pak, kok mati lampu lagi sih..dan ga pake bilang-bilang lagi!!
P: Oh, daerah mana?
S: Jatinangor Pak!
P: O iya, Jatinangor memang hari ini giliran mati lampu..
S: (mati lampu kok giliran; kayak ronda aja.. ronda? Emang masih jaman?)
S: O gitu ya Pak..bisa minta jadwalnya? (sebenernya iseng tanya jadwal, tapi berhubung kayak ronda, sapa tau ada)
P: O bisa-bisa… Dateng aja ke PLN, ada jadwalnya..
S: ???
S: O iya, Pak. Kenapa sih kok mati lampu sekarang ga kasih tau dulu..biasanya kan ada surat yang dateng?
P: Kita kasih pengumuman kok..
S: Ah, enggak ada kok..(keukeuh)
P: Ada, kita umumin di radio..
S: ??? (lagi)

Radio? Hari gene? Mana pasti radio Sumedang lagi.. Mang nyampe Jatinangor gitu siarannya?

Denger radio terakhir juga saya lupa. Tapi kalau ga salah sih waktu bawa mobil rental nganter teman. Jadi, untuk denger radio syaratnya adalah beli mobil dulu. Atau minimal nge-rental deh..hehe..

Kembali ke radio. Saya jadi teringat dengan keberadaan benda itu. Benda itulah yang banyak menemani kehidupan awal-awal kuliah saya dahulu. Ardan, 99ers, OZ, Paramuda, MGT, Mara, dan entah radio apalagi. Susah menghapalnya. Memang di Bandung ini geser frekuensi sedikit pasti ada siarannya. Betapa Bandung memang Kota Seribu Radio!

Selanjutnya

Fenomena Wikipedia

Siapa tak kenal Wikipedia? Situs ini telah banyak membantu dalam penelusuran dan pencarian informasi yang cukup komprehensif di dunia maya. Situs yang dimaksudkan sebagai ensiklopedi online gratisan ini saat ini telah menjadi rujukan banyak orang di seluruh dunia, dan bahkan menjelma menjadi ensiklopedi paling peling besar di kolong jagad ini. Hingga hari ini, Wikipedia menurut ranking Alexa menempati urutan 5 sebagai situs terfavorit secara global di bawah Google, Windows Live, Gmail, dan Facebook. Di Indonesia, Wikipedia ada di nomer 11, di bawah situs lokal seperti Kaskus (7) dan Detik.com (10).

Tapi siapa sangka situs yang diprakarsai seorang pengusaha kaya bernama Jimmy Wales pada Januari 2001 ini pada awalnya memicu perdebatan sengit? Ensiklopedi ini bukan disusun oleh pakar-pakar yang memang ahli di bidangnya, sebagaimana layaknya sebuah ensiklopedi semisal Encyclopaedia Britannica disusun. Ensiklopedi ini justru disusun secara gotong-royong, dengan menampung kearifan kolektif (collective wisdom) yang terdiri dari jutaan pakar amatir dan orang biasa. Situs ini dimaksudkan untuk dinikmati secara cuma-cuma oleh siapapun, dan pengerjaannya pun diserahkan kepada siapapun yang ingin berpartisipasi.

Selanjutnya

Selamat Lahir Kembali, Kompas.com!

Ada yang menarik terkait dengan launching Kompas.com lewat acara yang diberi tajuk Kompas.com Reborn. Membaca kolomnya Ninok Leksono di Kompas edisi Kamis, 29 Mei 2008 yang menyoal hadirnya Kompas.com dengan wajah baru, terasa ada nuansa bahwa ada sesuatu yang akan dan sedang berubah di dalam Kompas.

Dan itu tak lain adalah soal lahirnya revolusi teknologi akhir-akhir ini, yang memaksa Kompas harus berpikir ulang tentang bisnis korannya yang selama ini dikenal sebagai koran nomor satu di republik ini.

Kompas.com atau Kompas versi online sendiri lahir 14 September 1995, dimaksudkan oleh sang pendiri Kompas Jacob Oetama sebagai Kompas masa depan yang senantiasa muda (rejuvenated), segar dalam kemasan teknologi mutakhir. Visi tersebut, menurut Ninok, visioner sekaligus pragmatis. Karena Kompas dalam bentuk aslinya, yaitu sebagai media cetak, tak pernah lepas dari kendala klasik, yang bahkan masih menghantui hingga hari ini.

Kendala itu adalah harga kertas yang terus-menerus naik. Padahal, kertas adalah elemen produksi utama bagi koran ini. Belum lagi jika dikaitkan dengan isu lingkungan. Ketergantungan manusia akan kertas menyimpan daya menghancurkan yang sangat dahsyat. Jutaan batang pohon, jutaan hektar hutan, jutaan kilowatt energi dikorbankan demi ketergantungan pada kertas. Setidaknya, untuk dapat mencukupi kebutuhan manusia akan kertas, diperlukan “korban” 4 juta hektar hutan setiap tahunnya. Ada ungkapan yang cukup menggelitik. Bahwa katanya,“Zaman Batu berakhir bukan karena orang kehabisan batu, tetapi karena telah ditemukan teknologi baru yang lebih baik.”

Selanjutnya

Waktu

Bayangkan ada sebuah bank yang memberimu pinjaman uang sejumlah Rp. 86.400,- setiap paginya.
Semua uang itu harus kau gunakan.
Pada malam hari, bank akan menghapus sisa uang yang tidak kau gunakan selama sehari.
Coba tebak, apa yang akan kau lakukan?
Tentu saja, menghabiskan semua uang pinjaman itu.

Setiap dari kita memiliki bank semacam itu; bernama WAKTU.
Setiap pagi, ia akan memberimu 86.400 detik.
Pada malam harinya ia akan menghapus sisa waktu yang tidak kau gunakan untuk tujuan baik, karena ia tidak memberikan sisa waktunya padamu.
Ia juga tidak memberikan waktu tambahan.
Setiap hari ia akan membuka satu rekening baru untukmu.
Setiap malam ia akan menghanguskan yang tersisa.
Jika kau tidak menggunakannya maka kerugian akan menimpamu.
Kamu tidak bisa menariknya kembali.
Juga, kamu tidak bisa meminta “uang muka” untuk keesokan hari.
Kamu harus hidup di dalam simpanan hari ini.
Maka dari itu, investasikanlah untuk kesehatan, kebahagiaan, dan kesuksesanmu.
Jam terus berdetak. Gunakan waktumu sebaik-baiknya.

Agar tahu pentingnya waktu SETAHUN, tanyakan pada murid yang gagal kelas.
Agar tahu pentingnya waktu SEBULAN, tanyakan pada ibu yang melahirkan prematur.
Agar tahu pentingnya waktu SEMINGGU, tanyakan pada editor majalah mingguan.
Agar tahu pentingnya waktu SEJAM, tanyakan pada kekasih yang menunggu untuk bertemu.
Agar tahu pentingnya waktu SEMENIT, tanyakan pada orang yang ketinggalan kereta.
Agar tahu pentingnya waktu SEDETIK, tanyakan pada orang yang barusaja terhindar dari kecelakaan.
Agar tahu pentingnya waktu SEMILI DETIK, tanyakan pada peraih medali perak Olimpiade.

Hargailah setiap waktu yang kamu miliki.
Dan lebih berharga lagi bila kamu menggunakann ya untuk tujuan kebahagian bersama orang yang spesial.
Dan ingatlah, waktu tidaklah menunggu siapa-siapa.

Sumber: Lupin

Menyenangkan Semua Orang

Pekerjaan yang paling susah bagi manusia adalah menyenangkan semua orang. Mustahil bahkan. Kisah berikut setidaknya menggambarkan hal itu.

Suatu ketika seorang laki-laki beserta anaknya membawa seekor keledai ke pasar. Di tengah jalan, beberapa orang melihat mereka dan menyengir, “Lihatlah orang-orang dungu itu. Mengapa mereka tidak naik ke atas keledai itu?”

Laki-laki itu mendengar perkataan tersebut. Ia lalu meminta anaknya naik ke atas keledai. Seorang perempuan tua melihat mereka, “Sudah terbalik dunia ini! Sungguh anak tak tahu diri! Ia tenang-tenang di atas keledai sedangkan ayahnya yang tua dibiarkan berjalan.”

Selanjutnya

Mendengar Koran, Menonton Radio, Membaca Televisi

Selalu saja berita duka. Selalu saja bencana. Apakah negeri ini memang ditakdirkan demikian? Semoga saja tidak. Tapi mengapa berita duka dan bencana yang selalu menghiasi koran, radio, dan televisi? Jika bukan alam yang membuat duka, manusianyalah yang membuat bencana. Jika alam membuat gempa bumi, banjir, longsor, tsunami, angin ribut, dan kawan-lawannya, manusia tak mau kalah menciptakan kerusuhan, pertikaian, peperangan, keributan, kelaparan, pembunuhan, korupsi, dan teman-temannya.

Apakah tidak ada waktu sejenak untuk berdamai? Berdamai dengan alam, berdamai dengan sesama? Tidak bosankah kita untuk terus hidup seakan berada di “negeri bencana” ini? Rasa-rasanya tak ada yang ingin untuk terus dalam situasi ini.

Negeri ini kaya. Negeri ini indah. Negeri ini makmur. Jika dan hanya jika kita mau dan mampu membuatnya demikian. Itulah sebenarnya yang selalu didambakan, oleh kita dan oleh orang-orang sebelum kita, para pendiri republik ini. Maka hadirlah slogan dan julukan Gemah Ripah Loh Jinawi, Tata Tentrem Kerta Raharja, Bhinneka Tunggal Ika, Zamrud Khatulistiwa, dan lain-lainnya. Apakah slogan itu kini hanya tinggal sekedar slogan saja?

Selamat hari Nyepi dan Tahun Baru Saka 1930. Shanti, shanti, shanti (damai, damai, damai). Dan semoga damai itu selalu ada bersama kita…