Mendengar Koran, Menonton Radio, Membaca Televisi

Selalu saja berita duka. Selalu saja bencana. Apakah negeri ini memang ditakdirkan demikian? Semoga saja tidak. Tapi mengapa berita duka dan bencana yang selalu menghiasi koran, radio, dan televisi? Jika bukan alam yang membuat duka, manusianyalah yang membuat bencana. Jika alam membuat gempa bumi, banjir, longsor, tsunami, angin ribut, dan kawan-lawannya, manusia tak mau kalah menciptakan kerusuhan, pertikaian, peperangan, keributan, kelaparan, pembunuhan, korupsi, dan teman-temannya.

Apakah tidak ada waktu sejenak untuk berdamai? Berdamai dengan alam, berdamai dengan sesama? Tidak bosankah kita untuk terus hidup seakan berada di “negeri bencana” ini? Rasa-rasanya tak ada yang ingin untuk terus dalam situasi ini.

Negeri ini kaya. Negeri ini indah. Negeri ini makmur. Jika dan hanya jika kita mau dan mampu membuatnya demikian. Itulah sebenarnya yang selalu didambakan, oleh kita dan oleh orang-orang sebelum kita, para pendiri republik ini. Maka hadirlah slogan dan julukan Gemah Ripah Loh Jinawi, Tata Tentrem Kerta Raharja, Bhinneka Tunggal Ika, Zamrud Khatulistiwa, dan lain-lainnya. Apakah slogan itu kini hanya tinggal sekedar slogan saja?

Selamat hari Nyepi dan Tahun Baru Saka 1930. Shanti, shanti, shanti (damai, damai, damai). Dan semoga damai itu selalu ada bersama kita…

Jatinangor

ktp jatinangor

Hari ini aku masih saja di sini. 10 tahun sudah. Dan entah sampai kapan aku akan terus ada di kota(?) ini. Bisa jadi untuk selamanya.

Mungkin inilah yang dinamakan jodoh. Selepas 4,5 tahun menempuh “wajib kuliah” di sini, ternyata 5,5 tahun kemudian pun aku masih tetap di sini. Meskipun sempat menghinggap di Ganesha 10, kembali ke Lampung, terdampar di Gegerkalong, namun akhirnya aku kembali ke pelukan Ibu Pertiwi Jatinangor tercinta. Memang, jika cinta sudah melekat, di Jatinangor pun serasa makan coklat yang nikmat setiap saat…:)

Jatinangor memang khas. Selalu membuat rindu. Pada siang yang terik dan malam yang menusuk tulang. Pada kemacetan lalu lintas dan ketenangan Kiara Payung. Pada riuh-rendah Pasar Unpad dan keramaian Jatos. Pada hamparan kos-kosan dan kekokohan Jembatan Cincin. Pada kegenitan mahasiswa dan kegamangan penduduk asli. Pada kegagahan Manglayang dan keanggunan Geulis. Pada ujung Cibeusi hingga ujung Cikuda. Pada keseluruhannya. Itulah yang membuatku selalu enggan berlama-lama pergi dari Jatinangor. Setelah bepergian, menjejakkan kaki dan merasakan kembali aroma Jatinangor selalu menggetarkan hati.

Untukmu Jatinangor, jiwa raga kami…. Masih di sini!