PPT = Para Pengiklan Top1?

Yup, inilah acara yang banyak ditunggu-tunggu pemirsa di bulan Ramadan. Sinetron “Para Pencari Tuhan” (PPT) garapan Deddy Mizwar. Sewaktu PPT tayang tahun lalu, terus terang saya cukup terhibur sekaligus terbius dengan banyaknya pelajaran yang bisa didapatkan dari sinetron ini. Deddy Mizwar memang saya akui cukup mumpuni untuk membuat sinetron di layar televisi kita beraroma wangi, di antara busuknya sinetron-sinetron Indonesia made in India. Suksesnya menelurkan sinetron “Lorong Waktu” (hingga beberapa sekuel), sinetron dan film “Kiamat Sudah Dekat”, hingga yang terakhir film “Naga Bonar Jadi 2”, menjadi jaminan bahwa Bang Deddy memang jagonya membuat sinema yang berbobot.

Tahun ini SCTV – stasiun televisi ini tampaknya jadi langganan tempat tayangnya garapan-garapan Deddy Mizwar – kembali menayangkan “Para Pencari Tuhan Jilid 2”. Menemani saat sahur, dan di re-run setelah waktu berbuka puasa. Masih menceritakan tentang mantan jagal hewan bernama Bang Jack, trio eks-napi Chelsea – Barong – Juki, duet orang-orang susah Asrul – Udin, kisah cinta Azzam – Aya, kelakuan Ustad Ferry dan Pak Jalal, serta birokrasi kompleks khas Pak RT, Pak RW dan Pak Bendahara.

Tapi setelah menikmati beberapa episode awal sinetron ini, saya merasa ada “kelebihan” dalam sinetron ini dibandingkan dengan tayangan tahun lalu. Ya, kelebihan muatan “kapitalisme”, yang bertumpang-tindih dengan muatan moral dan religius sinetron ini. Yang cukup vulgar adalah tampilnya iklan oli Top 1 di dalam adegan.
Selanjutnya

Lima Terlalu Sedikit, Sepuluh Terlalu Banyak

Saat TVRI tampil sebagai satu-satunya saluran televisi, banyak orang menganggap itu tak demokratis. Lantas muncullah RCTI (1989), SCTV (1990), TPI (1991), Anteve (1994), dan Indosiar (1995). Lima stasiun televisi swasta ini bisa mengudara memang didukung oleh faktor dekatnya sang pendiri dengan kekuasaan, sebagaimana lazimnya bisnis pada masa Orde Baru dengan Soeharto sebagai Big Boss-nya, dan Cendana sebagai “bau”nya.

RCTI dimiliki oleh Grup Bimantara (ada Bambang Trihatmojo di sana). TPI – kita semua tahu – didirikan oleh Siti “Tutut” Hardiyanti Rukmana. SCTV juga “berbau” Cendana, dengan pendiri seperti Sudwikatmono, Peter F. Gontha, Henry Pribadi, Halimah Bambang Triatmodjo, dan Azis Mochtar. Anteve milik Aburizal Bakrie, sedangkan Indosiar dikuasai Anthony Salim.

Era Reformasi kembali menumbuhkan lima televisi swasta nasional baru, di samping ada kebijakan untuk memberikan ijin bagi munculnya televisi lokal di daerah-daerah. Lantas mengudaralah secara nasional Metro TV, Global TV, Trans TV, TV7, dan Lativi.

Selanjutnya

Mendengar Koran, Menonton Radio, Membaca Televisi

Selalu saja berita duka. Selalu saja bencana. Apakah negeri ini memang ditakdirkan demikian? Semoga saja tidak. Tapi mengapa berita duka dan bencana yang selalu menghiasi koran, radio, dan televisi? Jika bukan alam yang membuat duka, manusianyalah yang membuat bencana. Jika alam membuat gempa bumi, banjir, longsor, tsunami, angin ribut, dan kawan-lawannya, manusia tak mau kalah menciptakan kerusuhan, pertikaian, peperangan, keributan, kelaparan, pembunuhan, korupsi, dan teman-temannya.

Apakah tidak ada waktu sejenak untuk berdamai? Berdamai dengan alam, berdamai dengan sesama? Tidak bosankah kita untuk terus hidup seakan berada di “negeri bencana” ini? Rasa-rasanya tak ada yang ingin untuk terus dalam situasi ini.

Negeri ini kaya. Negeri ini indah. Negeri ini makmur. Jika dan hanya jika kita mau dan mampu membuatnya demikian. Itulah sebenarnya yang selalu didambakan, oleh kita dan oleh orang-orang sebelum kita, para pendiri republik ini. Maka hadirlah slogan dan julukan Gemah Ripah Loh Jinawi, Tata Tentrem Kerta Raharja, Bhinneka Tunggal Ika, Zamrud Khatulistiwa, dan lain-lainnya. Apakah slogan itu kini hanya tinggal sekedar slogan saja?

Selamat hari Nyepi dan Tahun Baru Saka 1930. Shanti, shanti, shanti (damai, damai, damai). Dan semoga damai itu selalu ada bersama kita…