Homo Jakartanensis

Perhatikanlah manusia-manusia Jakarta itu.

Pagi buta, mereka berangkat ke tempat kerja, malam gulita mereka baru kembali.
Mereka melalui jalan-jalan yang sama, melakukan rutinitas yang sama, bertemu orang-orang yang sama. Selalu seperti itu, setiap hari.

Di sana, matahari selalu kalah cepat dibanding manusia-manusia Jakarta. Rembulan selalu kalah pamor dibanding glamornya lampu-lampu Jakarta. Udara Jakarta tak alami lagi. Di dalam ruangan udara yang dihirup adalah udara AC, di luar udara yang berbaur gas CO.

Manusia-manusia Jakarta hidup dalam dunia buatan. Cahaya buatan, udara buatan, air buatan, kenikmatan buatan, senyum buatan, keramahan buatan.

Untuk mencari yang alami, manusia-manusia Jakarta lantas mencarinya ke Pulau Seribu, Puncak, Bandung, Anyer, Bali, dan lain-lain.

Manusia-manusia Jakarta selalu bergegas. Siapa cepat, dia dapat. Siapa lambat, dia sekarat.

Oh, manusia-manusia Jakarta. Hebat nian manusia-manusia itu. Tak semua bisa melakoni hidup di sana. Hanya mereka yang lolos seleksi alam yang bisa eksis di sana. Survival of the Fittest. Salut!!

(oleh-oleh seminggu di Jakarta)

NB: Thanks to Bowo for the photo.

We Need a Moment!

Mengapa kita butuh momen?
Ternyata, momen penting untuk kita mengingat sampai dimana kita saat ini. Coba saja, pada saat ulang tahun, momen itu membuat kita sadar bahwa kita ternyata sudah cukup berumur. Terkadang kita memperlakukan hari itu dengan agak istimewa. Ada sebersit tekad untuk menjadikan umur-umur mendatang lebih baik. Demikian pula dengan momen tahun baru.

17-an, meskipun sering dicap sebagai rutinitas, diperlukan untuk mengingat dan membangkitkan kembali semangat kebangsaan kita. Merah-Putih dimana-mana. Rasa kebangsaan kita digugah. Kita yang tadinya kurang akrab dengan tetangga, mau tidak mau dipaksa untuk saling kenal lewat kegiatan 17-an di lingkungan kita. 17-an menjadi momen penting bahwa kita adalah orang Indonesia yang harus tetap bangga jadi orang Indonesia, meski di sana-sini negeri ini sedang carut-marut.

Momen lebaran bahkan memiliki efek yang dahsyat. Tradisi mudik mengiringi hari agung tersebut. Kita jadikan hari itu sebagai hari mengikat kembali tali silaturahim yang sempat kendur. Mereka yang bekerja di kota akan menyambangi sanak-keluarganya di desa. Mereka yang di kota menjadi “mesin-mesin” industri, lewat momen lebaran akan berusaha mendapati jatidirinya sebagai manusia kembali. Para mahasiswa akan pulang kampung merenda hari-hari bersama keluarga dan teman-teman masa lalunya.

Bayangkan jika kita tak punya hari ulang tahun, hari lebaran, tahun baru, ataupun 17-an. Mungkin momen-momen itu bisa membuat diri kita berubah. Atau paling tidak kita punya spirit untuk mengubah diri kita.

Memang semua hari adalah sama, dan hari ini, kata Nabi, mestilah harus lebih baik daripada hari kemarin. Tapi ternyata sulit bagi kita yang terjebak rutinitas untuk berbuat lebih baik esok harinya. Kita memerlukan momen khusus untuk berintrospeksi sejenak. Lalu mendapatkan semangat baru untuk meraih yang lebih baik di esok hari.

Dirgahayu RI ke-60. Semoga kemerdekaan ada di jiwa kita!