Perhatikanlah manusia-manusia Jakarta itu.
Pagi buta, mereka berangkat ke tempat kerja, malam gulita mereka baru kembali.
Mereka melalui jalan-jalan yang sama, melakukan rutinitas yang sama, bertemu orang-orang yang sama. Selalu seperti itu, setiap hari.
Di sana, matahari selalu kalah cepat dibanding manusia-manusia Jakarta. Rembulan selalu kalah pamor dibanding glamornya lampu-lampu Jakarta. Udara Jakarta tak alami lagi. Di dalam ruangan udara yang dihirup adalah udara AC, di luar udara yang berbaur gas CO.
Manusia-manusia Jakarta hidup dalam dunia buatan. Cahaya buatan, udara buatan, air buatan, kenikmatan buatan, senyum buatan, keramahan buatan.
Untuk mencari yang alami, manusia-manusia Jakarta lantas mencarinya ke Pulau Seribu, Puncak, Bandung, Anyer, Bali, dan lain-lain.
Manusia-manusia Jakarta selalu bergegas. Siapa cepat, dia dapat. Siapa lambat, dia sekarat.
Oh, manusia-manusia Jakarta. Hebat nian manusia-manusia itu. Tak semua bisa melakoni hidup di sana. Hanya mereka yang lolos seleksi alam yang bisa eksis di sana. Survival of the Fittest. Salut!!
(oleh-oleh seminggu di Jakarta)
NB: Thanks to Bowo for the photo.