Ini Dia Sister City Indonesia-Belanda

Sister city (twin city, kota kembar, atau kota bersaudara) adalah kerjasama antarkota atau provinsi antara dua negara untuk peningkatan perekonomian, promosi budaya, dan menjalin kerjasama di berbagai bidang secara erat.

Kota kembar biasanya memiliki kesamaan dalam hal demografi atau permasalahan yang dihadapi. Perjanjian sister city sendiri memiliki jangka waktu yang berbeda-beda sesuai dengan kesepakatan bersama. Nah, ternyata hingga saat ini setidaknya ada 6 kota di Indonesia dan Belanda yang menjadi sister city, yaitu:

Continue reading

Belajar di Belanda, Belajar dari Tokoh Bangsa

Negeri Belanda sejak dulu sudah menjadi tempat menempuh ilmu dan menempa ketajaman pikir. Tokoh-tokoh bangsa Indonesia yang kelak menjadi founding father republik ini banyak yang mengecap pendidikan di Negeri Kincir Angin tersebut.

Meski mereka datang kesana karena adanya Politik Etis, namun mereka tetap yakin bahwa Belanda adalah tempat terbaik untuk menempuh pendidikan. Belanda adalah surga ilmu dan mata air pengetahuan kala itu. Pengajar yang mumpuni, fasilitas pendidikan yang lengkap, serta kemajuan sistem pendidikan di negeri itu telah mereka untuk pergi ke sana. Mereka rela walaupun harus berlayar berminggu-minggu menyeberangi lautan untuk menuju kesana. Hasilnya, sekembalinya dari sana, merekalah yang kemudian mewarnai perjalanan dan menjadi pelopor berdirinya republik ini.

Berikut beberapa tokoh bangsa Indonesia yang pernah belajar di negeri Belanda:

Continue reading

Mendengar Koran, Menonton Radio, Membaca Televisi

Selalu saja berita duka. Selalu saja bencana. Apakah negeri ini memang ditakdirkan demikian? Semoga saja tidak. Tapi mengapa berita duka dan bencana yang selalu menghiasi koran, radio, dan televisi? Jika bukan alam yang membuat duka, manusianyalah yang membuat bencana. Jika alam membuat gempa bumi, banjir, longsor, tsunami, angin ribut, dan kawan-lawannya, manusia tak mau kalah menciptakan kerusuhan, pertikaian, peperangan, keributan, kelaparan, pembunuhan, korupsi, dan teman-temannya.

Apakah tidak ada waktu sejenak untuk berdamai? Berdamai dengan alam, berdamai dengan sesama? Tidak bosankah kita untuk terus hidup seakan berada di “negeri bencana” ini? Rasa-rasanya tak ada yang ingin untuk terus dalam situasi ini.

Negeri ini kaya. Negeri ini indah. Negeri ini makmur. Jika dan hanya jika kita mau dan mampu membuatnya demikian. Itulah sebenarnya yang selalu didambakan, oleh kita dan oleh orang-orang sebelum kita, para pendiri republik ini. Maka hadirlah slogan dan julukan Gemah Ripah Loh Jinawi, Tata Tentrem Kerta Raharja, Bhinneka Tunggal Ika, Zamrud Khatulistiwa, dan lain-lainnya. Apakah slogan itu kini hanya tinggal sekedar slogan saja?

Selamat hari Nyepi dan Tahun Baru Saka 1930. Shanti, shanti, shanti (damai, damai, damai). Dan semoga damai itu selalu ada bersama kita…

We Need a Moment!

Mengapa kita butuh momen?
Ternyata, momen penting untuk kita mengingat sampai dimana kita saat ini. Coba saja, pada saat ulang tahun, momen itu membuat kita sadar bahwa kita ternyata sudah cukup berumur. Terkadang kita memperlakukan hari itu dengan agak istimewa. Ada sebersit tekad untuk menjadikan umur-umur mendatang lebih baik. Demikian pula dengan momen tahun baru.

17-an, meskipun sering dicap sebagai rutinitas, diperlukan untuk mengingat dan membangkitkan kembali semangat kebangsaan kita. Merah-Putih dimana-mana. Rasa kebangsaan kita digugah. Kita yang tadinya kurang akrab dengan tetangga, mau tidak mau dipaksa untuk saling kenal lewat kegiatan 17-an di lingkungan kita. 17-an menjadi momen penting bahwa kita adalah orang Indonesia yang harus tetap bangga jadi orang Indonesia, meski di sana-sini negeri ini sedang carut-marut.

Momen lebaran bahkan memiliki efek yang dahsyat. Tradisi mudik mengiringi hari agung tersebut. Kita jadikan hari itu sebagai hari mengikat kembali tali silaturahim yang sempat kendur. Mereka yang bekerja di kota akan menyambangi sanak-keluarganya di desa. Mereka yang di kota menjadi “mesin-mesin” industri, lewat momen lebaran akan berusaha mendapati jatidirinya sebagai manusia kembali. Para mahasiswa akan pulang kampung merenda hari-hari bersama keluarga dan teman-teman masa lalunya.

Bayangkan jika kita tak punya hari ulang tahun, hari lebaran, tahun baru, ataupun 17-an. Mungkin momen-momen itu bisa membuat diri kita berubah. Atau paling tidak kita punya spirit untuk mengubah diri kita.

Memang semua hari adalah sama, dan hari ini, kata Nabi, mestilah harus lebih baik daripada hari kemarin. Tapi ternyata sulit bagi kita yang terjebak rutinitas untuk berbuat lebih baik esok harinya. Kita memerlukan momen khusus untuk berintrospeksi sejenak. Lalu mendapatkan semangat baru untuk meraih yang lebih baik di esok hari.

Dirgahayu RI ke-60. Semoga kemerdekaan ada di jiwa kita!