Ada yang menarik terkait dengan launching Kompas.com lewat acara yang diberi tajuk Kompas.com Reborn. Membaca kolomnya Ninok Leksono di Kompas edisi Kamis, 29 Mei 2008 yang menyoal hadirnya Kompas.com dengan wajah baru, terasa ada nuansa bahwa ada sesuatu yang akan dan sedang berubah di dalam Kompas.
Dan itu tak lain adalah soal lahirnya revolusi teknologi akhir-akhir ini, yang memaksa Kompas harus berpikir ulang tentang bisnis korannya yang selama ini dikenal sebagai koran nomor satu di republik ini.
Kompas.com atau Kompas versi online sendiri lahir 14 September 1995, dimaksudkan oleh sang pendiri Kompas Jacob Oetama sebagai Kompas masa depan yang senantiasa muda (rejuvenated), segar dalam kemasan teknologi mutakhir. Visi tersebut, menurut Ninok, visioner sekaligus pragmatis. Karena Kompas dalam bentuk aslinya, yaitu sebagai media cetak, tak pernah lepas dari kendala klasik, yang bahkan masih menghantui hingga hari ini.
Kendala itu adalah harga kertas yang terus-menerus naik. Padahal, kertas adalah elemen produksi utama bagi koran ini. Belum lagi jika dikaitkan dengan isu lingkungan. Ketergantungan manusia akan kertas menyimpan daya menghancurkan yang sangat dahsyat. Jutaan batang pohon, jutaan hektar hutan, jutaan kilowatt energi dikorbankan demi ketergantungan pada kertas. Setidaknya, untuk dapat mencukupi kebutuhan manusia akan kertas, diperlukan “korban” 4 juta hektar hutan setiap tahunnya. Ada ungkapan yang cukup menggelitik. Bahwa katanya,“Zaman Batu berakhir bukan karena orang kehabisan batu, tetapi karena telah ditemukan teknologi baru yang lebih baik.”